Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) melayangkan kritik tajam terhadap imbauan Presiden Prabowo Subianto terkait pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) atau bonus hari raya (BHR) bagi pekerja online, khususnya ojek online (ojol) dan kurir online, yang dibayarkan secara tunai. SPAI menilai kebijakan ini berpotensi menjadi celah bagi perusahaan untuk menghindari kewajiban membayar THR kepada seluruh pekerja.
Ketua SPAI, Lily Pujiati, menyatakan keprihatinannya atas rencana pembayaran THR berdasarkan keaktifan kerja. Ia menganggap metode ini diskriminatif dan bertentangan dengan semangat berbagi THR. “Pengelompokan ini didasarkan pada sejumlah syarat seperti hari aktif, jam online, tingkat penerimaan bid, tingkat penyelesaian trip, rating pengemudi, tidak melanggar kode etik. Bagi kami ini sangat lah diskriminatif karena semangat THR adalah untuk berbagi kepada sesama,” ungkap Lily.
Lily menjelaskan bahwa platform digital telah mengirimkan notifikasi yang menyatakan hanya pengemudi yang dikategorikan sebagai “mitra juara,” “mitra andalan,” atau “mitra pengemudi teladan” yang akan menerima Bantuan Hari Raya Tunai dan Bonus Kinerja Khusus. Hal ini memicu kekhawatiran akan banyaknya pekerja yang terabaikan.
SPAI menuntut agar THR dibayarkan kepada seluruh pengemudi ojol, taksi online, dan kurir online yang pernah berkontribusi pada keuntungan platform, terlepas dari status aktif, non-aktif, atau putus mitra (PM). Mereka berpendapat bahwa pekerja, meskipun non-aktif atau PM, tetap telah berkontribusi dengan membeli atribut seperti helm, jaket, dan tas, serta menanggung biaya operasional seperti bahan bakar, parkir, dan perawatan kendaraan.
Biaya-biaya yang ditanggung pekerja ini secara otomatis meningkatkan keuntungan platform. Oleh karena itu, SPAI menilai tidak ada alasan bagi platform untuk menolak pembayaran THR bagi pekerja non-aktif atau PM. “Biaya yang dikeluarkan pengemudi ini, otomatis menjadi keuntungan bagi platform. Maka tidak ada alasan bagi platform untuk tidak membayar THR bagi pengemudi yang mereka bilang non-aktif (kerja sambilan) dan PM,” tegas Lily.
Lebih lanjut, Lily menyoroti kontradiksi antara kebijakan fleksibilitas kerja yang diklaim platform dengan persyaratan keaktifan untuk mendapatkan THR. Ia menilai ini sebagai upaya untuk menghindari kewajiban membayar THR. “Seharusnya kami bisa menuntut untuk mendapatkan 10 kali THR atau 10 kali UMP (untuk masa kerja 10 tahun). Tapi kali ini kami hanya menuntut 1 kali THR saja sebesar 1 kali UMP. Apakah platform masih mengelak juga dengan alasan tidak mampu secara finansial? Menurut kami ini hanya alasan platform saja untuk tidak mau membayar THR,” tambahnya.
SPAI berharap Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dapat mengambil tindakan tegas untuk mewajibkan platform membayar THR kepada seluruh pekerja online. Hal ini dinilai penting untuk menciptakan keadilan dan memastikan perlindungan bagi pekerja gig economy yang rentan.
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan aspek legalitas hubungan kerja antara platform dan pekerja online. Status pekerja sebagai pekerja lepas atau karyawan tetap memiliki implikasi hukum yang berbeda terkait hak atas THR. Perlu kajian lebih mendalam untuk menentukan status hukum yang tepat bagi para pekerja online agar hak-hak mereka terlindungi secara hukum.
Perlu juga dilakukan sosialisasi yang luas kepada pekerja online mengenai hak-hak mereka, termasuk hak atas THR. Banyak pekerja online yang mungkin tidak menyadari hak-hak mereka atau tidak tahu bagaimana menuntut hak-hak tersebut. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai saluran, termasuk media sosial, seminar, dan pelatihan.
Kesimpulannya, permasalahan THR bagi pekerja online menuntut perhatian serius dari pemerintah, platform digital, dan serikat pekerja. Solusi yang adil dan berkelanjutan diperlukan untuk melindungi hak-hak pekerja online dan memastikan kesejahteraan mereka.