Mengapa Kita Terobsesi Memperbaiki Kesempurnaan Orang Lain?

Lagu Taylor Swift yang berjudul “I Can Fix Him (No Really I Can)” dari album The Tortured Poets Department (2024) memicu diskusi menarik tentang fenomena “fixer” dalam hubungan romantis. Istilah “fixer” merujuk pada individu yang merasa terpanggil untuk memperbaiki atau mengubah perilaku orang lain agar sesuai dengan standar mereka.

Banyak yang berspekulasi bahwa lagu tersebut terinspirasi oleh hubungan Swift dengan Matty Healy, vokalis The 1975 yang dikenal dengan kontroversi publiknya. Kontras antara citra publik Swift yang terjaga dengan reputasi Healy menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik keinginan untuk “memperbaiki” seseorang.

Keinginan menjadi “fixer” memang umum terjadi. Banyak dari kita pernah merasa mampu mengubah karakter pasangan, misalnya, dari yang mudah marah menjadi lebih penyayang. Kita mungkin juga pernah mencoba membantu teman, saudara, atau kerabat yang menghadapi masalah.

Meskipun terlihat mulia, menjadi “fixer” justru dapat menimbulkan dampak negatif bagi diri sendiri. Toni Bernhard, seorang pensiunan dosen dan penulis buku self-help, membagikan pengalamannya sebagai seorang “fixer” yang menghabiskan banyak energi dan menyebabkan kecemasan serta kegelisahan.

Bernhard menceritakan bagaimana ia berupaya “memperbaiki” mahasiswanya, bahkan menangani pertikaian sepele antar mahasiswa, dan terus berusaha “memperbaiki” kehidupan anak-anaknya, bahkan saat mereka sudah dewasa. Ia menyadari bahwa usahanya yang bertujuan membuat orang lain bahagia justru membuatnya sendiri tidak bahagia.

Hal ini diperkuat oleh Adia Gooden, PhD, psikolog klinis dari Chicago. Ia menjelaskan bahwa menjadi “fixer” akan menyebabkan kelelahan dan frustrasi, terutama jika sarannya diabaikan atau ia diperlakukan buruk oleh orang yang ia coba “perbaiki”. Investasi emosional yang besar bisa berujung pada frustrasi dan bahkan kemarahan.

Dari Mana Dorongan Menjadi “Fixer” Berasal?

Beberapa faktor dapat menjelaskan dorongan untuk menjadi “fixer”, menurut Dr. Miwa Patnani, M.Si., Psikolog dari Universitas YARSI. Pertama, kurangnya objektivitas dalam menilai situasi, menyebabkan kita menganggap penilaian orang lain salah dan merasa perlu memperbaikinya.

Kedua, self-serving bias, kecenderungan menilai hal positif berasal dari diri sendiri dan hal negatif berasal dari orang lain, dapat membuat kita merasa lebih superior dan ingin “memperbaiki” orang lain.

Ketiga, perbedaan standar penilaian individu. Apa yang dianggap baik oleh orang lain mungkin belum cukup baik menurut standar kita. Keempat, kepribadian perfeksionis yang menginginkan segalanya sempurna akan mendorong kita untuk “memperbaiki” orang lain yang dianggap belum sempurna.

Selain itu, pengalaman masa kecil juga berperan. Natalie Gutiérrez, terapis perkawinan dan keluarga, mencatat bahwa beberapa orang dibesarkan dalam lingkungan yang menuntut mereka menjadi “fixer” atau penyelamat, misalnya, sebagai mediator dalam keluarga yang penuh konflik atau pengasuh anggota keluarga yang sakit.

Bisakah Kita Benar-Benar “Memperbaiki” Orang Lain?

Jawabannya, menurut Mel Robbins dan Dr. Miwa Patnani, adalah tidak. Robbins menekankan bahwa perubahan hanya terjadi jika seseorang mau berubah. Menuntut seseorang untuk berubah justru bisa menimbulkan penolakan.

Miwa menambahkan bahwa kita tidak selalu lebih baik dari orang yang ingin kita “perbaiki”. Usaha tersebut dapat menciptakan ketegangan dan konflik. Lebih lanjut, menjadi “fixer” dapat menciptakan hubungan kodependensi, di mana seseorang bergantung secara psikologis pada orang lain.

Misalnya, terus-menerus mencarikan pekerjaan dan mengurus segala keperluan untuk kerabat yang menganggur, memberikan pesan keliru bahwa mereka tidak perlu bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Setiap individu bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri.

Bersikeras menjadi “fixer” juga dapat “merampas” kesempatan orang lain untuk belajar dan berkembang. Lebih jauh lagi, sikap tersebut bisa membuat kita mendapat stigma negatif dan terisolasi secara sosial.

Kesimpulannya, sebelum memutuskan untuk menjadi “fixer”, pertimbangkan baik-baik dampaknya. Pertimbangkan kebutuhan dan keinginan orang tersebut. Dukungan dan empati lebih penting daripada upaya untuk “memperbaiki” mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *