Metaverse AI: Zuckerberg vs. Pakar, Pilih Pihak Mana?

Metaverse AI: Zuckerberg vs. Pakar, Pilih Pihak Mana?
Metaverse AI: Zuckerberg vs. Pakar, Pilih Pihak Mana?

Mark Zuckerberg, CEO Meta, baru-baru ini menyatakan keyakinannya bahwa kecerdasan buatan (AI) dapat berperan sebagai teman dan bahkan terapis bagi mereka yang merasa kesepian. Ia mencatat bahwa rata-rata warga Amerika memiliki kurang dari tiga teman dekat, padahal menginginkan lebih banyak koneksi sosial.

Zuckerberg mengakui bahwa koneksi nyata tetap penting, namun ia melihat potensi besar AI untuk meningkatkan kesejahteraan sosial. Pernyataan ini memicu debat mengenai peran AI dalam kehidupan manusia dan hubungan interpersonal.

AI sebagai Teman dan Terapis: Pandangan Zuckerberg

Menurut Zuckerberg, AI dapat menawarkan nilai tambah seiring perkembangan teknologi. Ia membayangkan sebuah sistem AI yang memahami pengguna sebaik algoritma *feed* media sosial. Sistem seperti ini bisa memberikan dukungan emosional dan personalisasi pengalaman digital.

Meskipun demikian, ia menekankan bahwa AI tidak dimaksudkan untuk menggantikan interaksi manusia sepenuhnya. Zuckerberg percaya bahwa AI dapat melengkapi, bukannya mengganti, hubungan antar manusia.

Perdebatan Pakar: Batasan dan Risiko AI dalam Hubungan Sosial

Pandangan Zuckerberg tersebut mendapat tanggapan berbeda dari Omri Gillath, profesor psikologi di University of Kansas. Gillath berpendapat bahwa memiliki 3-4 teman dekat sudah cukup memadai, dan gagasan AI menggantikan hubungan manusia tidak didukung oleh riset.

Ia mengakui bahwa berinteraksi dengan *chatbot* AI bisa menawarkan keuntungan sementara, seperti ketersediaan 24/7 dan respons yang selalu sopan. Namun, Gillath menekankan batasan fundamental AI dalam membentuk hubungan yang mendalam dan bermakna.

Keterbatasan AI dalam Membangun Hubungan

AI tidak dapat menawarkan pengalaman-pengalaman yang hanya bisa didapatkan dari hubungan manusia, seperti memperkenalkan ke jaringan sosial yang lebih luas, bermain bersama, atau bahkan sekadar memberikan pelukan. Interaksi fisik dan emosional tetap tak tergantikan oleh AI.

Meskipun ada kasus individu yang merasa memiliki hubungan nyata dengan AI, seperti laporan *New York Times* tentang seorang wanita yang jatuh cinta pada ChatGPT, Gillath menilai hubungan tersebut pada akhirnya tetap “palsu” dan “kosong” karena AI tidak dapat membalas perasaan secara otentik.

Dampak Negatif AI pada Kesehatan Mental dan Perkembangan Sosial

Studi menunjukkan bahwa penggunaan AI yang berlebihan, terutama pada anak-anak, dapat berdampak negatif pada kesehatan mental. Tingkat kecemasan dan depresi cenderung meningkat, sementara kemampuan mengembangkan keterampilan sosial justru berkurang. Hal ini menekankan pentingnya keseimbangan antara teknologi dan interaksi manusia.

Gillath menyarankan agar penggunaan teknologi tidak menggantikan waktu berkualitas yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan manusia. Ia mendorong orang-orang untuk aktif bergabung dalam komunitas dan organisasi yang sesuai minat, serta mempraktikkan komunikasi yang efektif.

Yang tak kalah penting adalah menyadari bahwa perusahaan AI memiliki agenda bisnis tersendiri, yaitu menghasilkan profit. Pengguna harus bijak dalam menggunakan teknologi dan tidak sepenuhnya bergantung pada AI untuk memenuhi kebutuhan sosial dan emosional.

Kesimpulannya, sementara AI dapat menawarkan manfaat tertentu, seperti kemudahan akses dan personalisasi, penting untuk tetap memprioritaskan hubungan manusia yang bermakna dan mendalam. Penggunaan AI harus seimbang dan tidak menggantikan interaksi sosial yang penting bagi kesehatan mental dan perkembangan individu. Berhati-hatilah terhadap potensi manipulasi dan dampak negatif yang mungkin timbul dari ketergantungan berlebihan pada teknologi AI.

Exit mobile version